Rabu, 14 November 2018

Menambahkan Lafadz Sayyidina Pada Bacaan Sholawat,


para wahabi berpendapat bhw bersholawat atas nabi itu ckp dgn apa yg dsuruh oleh nabi,yaitu dgn sholawat diatas,tanpa penambahan apapun,bhkan tdk perlu ada kalimat "sayyidina".
Maka mahmud albanjari atau 'ala kulli haal menjwb : pendapat wahabi ini adalah kesalahan dan berfikiran sangat sempit skali, Dalam usul fiqh : boleh kita menambah dari suruhan yg dtentukan, Misalnya saja kita dlm sholat cuma di suruh sujud saja,tp boleh kita menambah dlm sujud itu dgn doa2 mcm2,slama tdk menyalahi apa yg ada di fiqh,spt yg dlakukan imam ahmad bin hanbal,beliau dalam sujudnya slalu mendoakan imam syafi'i,pdhl zaman rasul imam syafi'i blm lahir,jd imam ahmad membuat satu penambahan dalam suruhan yg cuma hanya sujud tanpa ada dalil dr alquran dan sunnah,hehehe.. Sama jg sholawat kpd rasul,boleh kita tambah2in dari apa yg dsuruh rasulullah,karena ada atsar seorang sahabat bernama ibnu mas'ud melaini dr sholawat suruhan nabi. Dalam tafsir sam'ani :
عن عبد الله بن مسعود أنه قال : إذا صليتم على رسول الله فأحسنوا الصلاة عليه فلعلها تعرض عليه ، قالوا له : فعلمنا قال قولوا اللهم صل على سيدنا محمد عبدك ونبيك سيد المرسلين وإمام المتقين وخاتم النبيين إمام الخير وقائد الخير ورسول الرحمة اللهم ابعثه المقام المحمود الذي يغبطه به الأولون
Dari Abdullah bin mas'ud mengatakan : bila kamu hendk bersholawat atas rasulullah,maka baguskan lah sholawat kamu,mdh2n sholawat kamu sampai kpd beliau,mereka berkata kpd ibnu mas'ud,tolong ajari kami. Lalu ibnu mas'ud membikin sholawat sendri dan membaguskan susunan ibaratnya dgn memuji2 rasul spt yg trtls di atas, (dari Abdulah bin mas'ud inilah) dapat kita ambil dalil bahwa boleh kita membikin sholawat sendri,spt sholawat nariyah,burdah,dalailul khairat ,dan membikin syair maulid yg memuji2 rasul,demi untk membaguskan sholawat kt kpd rasul). Dan pelajaran yg diambl dari atsar ibnu mas'ud ini laisa biqaidin,artinya tdk trtuju pd sholawat yg dbc oleh ibnu mas'ud aja,tp boleh di qiyaskan ke lain2 slama itu bgs dalam memuji dan mendoakan rasulullah,spt dalailul khairat,brzanji,simtud durar,burdah dll . Adapun membanyakkan sholawat itu Dalil dari hadist yg sangat shohih,krn takhrijnya dari rawi2 yg tsiqoh.

Kamis, 08 November 2018

Bid'ah tidak semua sesat


Saya pernah dengar hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua bid’ah itu sesat
Tetapi saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah, mana itu yang benar?
Kalau bid’ah Dholalah itu lafadnya umum, tiap-tiap lafad umum yaitu biasanya kemasukan takhsis, contohnya:
Hadits:
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ
Segala sesuatu itu dibikin dari air
Apakah malaikat juga dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Segala yang memabukan itu khomer, dan semua khomer itu haram
Kecubung itu memabukan, apakah itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Semua kamu itu penggembala, dan semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya
Apakah orang gila dan orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu dijawab tidak? Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini maka saudara sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khottob yang menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca Barzanji yang isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok pesantren dan madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak dholalah. Apalagi kalau menurut riwayat yang diriwayatakan oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi, hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ
Kami persilahkan melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah 39.
Bagaimana kebenaran hadits berikut?
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا َليْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Hadits itu memang benar diceritakan oleh Bukhori wa Muslim wa Abi Dawud wa Ibnu Majah dari Aisyah, akan tetapi perhatikanlah benar-benar terjemahannya! “Barang siapa mengada-ada (menimbulkan) di dalam agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka ia ditolak”. Lalu apalagi yang saudara maksud? Kalau kita mengerjakan sholat shubuh empat rakaat, atau sholat mayit pakai ruku’, sujud, itu memang ditolak, sebab yang demikian itu tidak ada sumbernya dari agama. Adapun yang ada sumbernya dari agama, sebagaimana masalah-masalah yang disebut dimuka (adzan jum’at dua kali, tarawih dua puluh rakaat dan lain sebagainya) ia tidak termasuk yang ditolak.
Sesungguhnya apakah yang disebut bid’ah itu?
Memang arti Bid’ah ini sesungguhnya harus ditanyakan terlebih dahulu, sebelum disodorkannya hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Bid’ah itu ada dua macam:
1.Bid’ah syar’iyah
2.bid’ah lughowiyah.
Tiap-tiap ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan kebenarannya oleh ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu Bid’ah Mardudah. Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas. Ini pula yang disebut Bid’ah Syar’iyah.
Adapun Bid’ah lughowiyah, yaitu segala yang belum pernah terjadi pada zaman Rasululah SAW.Bid’ah lughowiyah terbagi menjadi lima:
Bid’ah Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.
·Bid’ah Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
·Bid’ah Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman RasulullahSAW.seperti mendirikan madrasah-madrasah untuk memudahkan cara-cara memberi pelajaran agama kepada murid-murid.
·Bid’ah Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang berlebih-lebihan.
·Bid’ah Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan minum.

Sumber : eBook Tanya jawab Bersama KH. Bisri Musthofa ( Tokoh NU )

Rabu, 07 November 2018

Hukum mengucapkan Salam Kepada Lawan Jenis

1. Antar lawan jenis yang terdapat hubungan suami istri. Karena hubungan di antara keduanya adalah legal, maka berucap salam di antara keduanya diperbolehkan. Bahkan, sunah untuk memulai salam dan wajib dalam menjawabnya, karena ada anjuran untuk menjaga keharmonisan di antara keduanya.
2. Antar lawan jenis yang terdapat hubungan mahram (keharaman menikah di antara keduanya karena hubungan kekerabatan, sesusuan atau besanan). Dianjurkan ucapan salam di antara keduanya, sunah memulai salam, dan wajib menjawabnya.
3. Antar lawan jenis ajnaby – ajnabiyyah, akan tetapi salah satu pihak berusia lanjut (‘ajuz). Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu, dia berkata, ”Ada seorang wanita tua yang memunguti batang talas dan memasukkannya dalam tempayan, lalu membuat tepung dari gandum. Seusai salat Jum’at, kami berucap salam kepadanya dan dia
4. Antar lawan jenis ajnaby – ajnabiyyah, akan tetapi salah satu pihak adalah sekumpulan orang. Yakni antara satu orang lelaki ajnabiy dan sekumpulan wanita ajnabiyyah. Atau sebaliknya, antara satu orang wanita ajnabiyyah dan sekumpulan lelaki ajnabiy, dengan syarat aman dari potensi fitnah. Diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid radliyallahu anha, dia berkata, ”Rasulullah Saw lewat di depan kami beserta para perempuan, lalu beliau mengucapkan salam kepada kami,” (HR. Abu Dawud)

5. Ucapan salam lelaki ajnaby kepada wanita ajnabiyyah di hadapan mahram dari wanita tersebut. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana dituturkan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Perincian hukum di atas adalah ketika salam diucapkan secara langsung atau face to face. Bagaimana jika ucapan salam antar lelaki ajnabiy dan wanita ajnabiyyah dilakukan melaui media tulisan atau titipan melalui orang lain? Dalam referensi Syafi'iyyah dipaparkan, bahwasanya disunahkan berucap salam lewat tulisan atau titipan kepada seseorang yang dianjurkan (masyru') untuk diucapi salam secara langsung. Dan, sebagaimana paparan sebelumnya, ucapan salam antar lawan jenis ajnabiy – ajnabiyyah adalah bukan sesuatu yang dianjurkan, akan tetapi makruh bagi lelaki, dan haram bagi wanita.
Hanya saja, terdapat penjelasan secara sharih atau tekstual dari kalangan madzhab Hanbali, seperti dalam Kasysyâf al-Qinâ', bahwa seorang lelaki yang menitipkan salam kepada wanita ajnabiyyah tidaklah mengapa. Karena dalam salam tersebut terdapat kemaslahatan (yakni kandungan doa) dengan pertimbangan ketiadaan sisi negatif yang berupa fitnah atau potensi zina dan pendahuluannya. Demikian referensi fiqh klasik memaparkan. Namun, dalam penerapan keseharian, hendaklah diperhatikan kemungkinan sisi negatif yang bakal ditimbulkan. Apalagi di zaman teknologi komunikasi yang serba canggih ini, sisi negatif akan lebih banyak merongrong interaksi antar lawan jenis. Sedangkan kaedah fiqh menyatakan bahwa dar'ul mafâsid muqaddam 'ala jalb al-mashâlih, mengantisipasi dampak negatif harus diprioritaskan dari mengakomodir kemaslahatan.

Referensi:
  1. As-Sayyid Abu Bakar al-Bakriy bin Muhammad Syatha, I’anah at-Thâlibîn, Surabaya: Al-Haramain,
  2. Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2002.
  3. Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Adzkâr, Surabaya: Al-Hidayah,
  4. Muhammad bin ‘Alân, Al-Futûhât ar-Rabbâniyyah, Beirut: Dar al-Fikr,
  5. As-Sayyid ‘Alawiy bin Ahmad as-Saqqaf, Fath al-Allâm fî Ahkâm al-Salâm, dalam Sab’ah Kutub Mufîdah, Surabaya: Al-Hidayah,
  6. Muhammad Abdurrahman bin Abdirrahman al-Mubarakfuriy, Tuhfah al-Ahwadziy, Beirut: Darul Fikr,






Ilmu yang Wajib dituntut


Ilmu yang wajib dituntut, secara umum ada tiga:
  1. Ilmu Tauhid
  2. Ilmu Sirry (tasawuf). Yakni, ilmu yang berhubungan dengan urusan dan pekerjaan hati.
  3. Ilmu Syari'at.

Adapun batasan masing-masing ketiga ilmu yang wajib dituntut tersebut :
  • Yang wajib dari ilmu tauhid, garis besarnya adalah mengetahui pokok-pokok ajaran agama. Yakni, bahwa engkau hanya memiliki satu Tuhan Yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Hidup, Maha Berbicara, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Esa tiada sekutu pun bagi Dia, memiliki sifat-sifat Kesempurnaan, Suci dari segala kekurangan, kehancuran dan dari hal-hal yang menunjukkan kebaharuan, Maha Bersendiri dengan sifat Qidam (Maha Terdahulu) dari semua yang baru (makhluk), bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan rasul-Nya yang membawakan ajaran kebenaran dari sisi Allah SWT. dan suci segala apa yang diucapkan lewat lisannya tentang perkara-perkara akhirat. Kemudian, wajib pula engkau mengetahui persoalan-persoalan yang diitikadkan oleh ahlus-sunnah. Sekali-kali engkau ambillah ijtihad dalam urusan agama Allah tentang perkara yang tidak disebutkan oleh kitab Al-Qur'an maupun hadits, niscaya Allah SWT. mengangkatmu ke derajat yang tinggi. Adapun dalil-dalil ilmu tauhid, semuanya sudah tercantum di dalam kitab Al-Qur'an. Begitu pula guru-guru kita dahulu telah menjelaskannya di dalam kitab-kitab karangan mereka tentang pokok-pokok ajaran agama. Pokoknya, setiap perkara yang engkau tidak merasa aman dari kesesatan karena tidak mengetahuinya, maka wajiblah engkau menuntut ilmu hal itu, tidak boleh ditinggalkan. Demikianlah perkara ini, dan kepada Allah kita memohon taufiq.
  • Yang wajib dari ilmu sirry, secara garis besar adalah mengetahui kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi hati sehingga engkau dapat benar-benar mengagungkan Allah SWT., memiliki hati ikhlas, niat suci dan mencapai keselamatan dalam perbuatan.
  • Yang wajib dari ilmu Syari'at, secara garis besar adalah setiap kewajiban yang fardhu mengerjakannya, maka wajiblah bagimu menuntut ilmunya, agar engkau dapat melaksanakan kewajiban itu. Seperti: thaharah, salat, puasa. Ada pun kewajiban menunaikan haji, mengeluarkan zakat dan jihad, jika memang sudah merupakan kewajibanmu (yakni mampu), maka wajib pula engkau menuntut ilmunya, agar engkau dapat melaksanakan. Jika tidak demikian keadaanmu, maka itu tidak perlu. - wAllaahu A'lam - 
  • [ Referens: Minhajul 'Abidin ].

Selasa, 06 November 2018

Siapakah Al 'Asy'ary itu?




Banyak orang yang tidak mengerti apa sebenarnya madzhab Asy'ariyyah, siapa mereka dan bagimana methode pemikiran mereka dalam akidah, hingga madzhab Asy'ariyyah tersebut di labeli madzhab sesat serta keluar dari agama. Lebih ekstrim lagi, ada sebagian kalangan yang tanpa ragu-ragu menilai pengikut madzhab Asy'ariyyah adalah kufur.
Ternyata jahil mengenai madzhab Asy'ariyyah menjadikan pangkal kehancuran dan perpecahan di tubuh Ahlussunnah wa al-Jama'ah. Bahkan ada yang mendudukkan pengikut Asy'ariyyah di sejajarkan dengan golongan yang sesat. Kami sungguh tidak tahu argumen mereka, bagaimana mungkin ahli iman dan termasuk golongan Ahlussunnah di sejajarkan dengan kelompok sesat ? Na'udzubillah.
Dalam kitab al-Ghuluw, makalah Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki hal. 23 dalam dialog nasional ke-2 di Makkah Mukarramah, di sebutkan bahwa tindakan anarkis dari sebuah kelompok yang selalu menyeru berjihad ternyata melakukan pembakaran kitab-kitab dan mausu'ah ilmiyyah (ensiklopedi) termasuk diantaranya adalah kitab Fath al-Bari syarah Shahih al-Bukhari karya al-Hafizh Ibnu Hajar hanya gara-gara beliau di tuduh bermadzhab Asy'ari serta mengikuti jejak Asy'ariyyah dalam mentafsiri hadits-hadits sifat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari.

Siapakah Asy'ariyyah sesungguhnya ?

Asy'ariyyah adalah kelompok ulama-ulama Islam yang terdiri dari ahli hadits, ahli fiqh dan ahli tafsir seperti:
1. Al-Hafizh Abu Hasan ad-Daraquthni.
2. Al-Hafizh Abu Nu'aim al-Ashbahani, penulis Hilyah al-Auliya'.
3. Al-Hafizh al-Hakim an-Nasaiburi, penulis al-Mustadrak.
4. Al-Hafizh Ibni Hibban.
5. Al-Hafizh al-Baihaqi.
6. Al-Khathib al-Baghdadi.
7. Al-Hafizh as-Sakhawi..
8. Syaikh al-Islam Ibnu Shalah.
9. Syaikh Ibnu Daqiq al-Id
10. Al-Hafizh Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi
11. Al-Hafizh al-Mundziri, penulis at-Targhib wa at-Tarhib.
12. Syah Waliyullah ad-Dihlawi, penulis kitab Hujjah Allah al-Balighah.
dan Lain-lain insya Allah Akan kami lengkapi pada postingan Blog berikutnya.
Izzuddin bin Abdissalam mengatakan bahwa sesungguhnya akidah madzhab Asy'ari telah disepakati oleh seluruh ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan para petinggi ulama Hanbilah. Di antaranya adalah guru besar madzhab Malik yang hidup sezaman dengan Imam Asy'ari, yaitu Syaikh Abu Amr bin Hajib dan guru besar madzhab Hanafi, Jamaluddin al-Hushairi. Imam al-Khayali mengatakan dalam Hasyiyah Syarah al-Aqaid bahwa madzhab Asy'ariyyah adalah Ahlussunnah wa al-Jama'ah. ( Ittihaf as-Sadah juz 2 hlm. 7 ).
Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawi (IV/16) mengatakan tentang madzhab Asy'ariyyah: "Adapun para ulama yang melaknat Imam-Imam Asy'ariyyah, maka sesungguhnya siapa yang melaknat mereka, maka harus di ta'zir (di beri hukuman) dan laknat tersebut kembali kepada pelaknatnya. Siapa yang melaknat seseorang yang tidak berhak di laknat, maka laknat akan mengenai dirinya sendiri. Ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama dan Asy'ariyyah adalah penolong dasar-dasar agama (ushul ad-din)".
Fatwa Ibnu Taimiyyah tersebut di sebutkan dan di tulis Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam makalah dialognya, namun mendapat sanggahan dari Dr. Yusuf al-Ghanifaish (tercatat dalam makalah hal. 57), dikatakan bahwa, "Yang disebutkan oleh Dr. Muhammad al-Maliki, sebenarnya bukan perkataan Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah, akan tetapi perkataan Abu Muhammad al-Juwaini sebagaimana di sebutkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah di dua halaman sebelumnya" Kemudian Sayyid Muhammad mengucapkan terima kasih dan memberikan tanggapan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah sependapat dengan fatwa Abu Muhammad al-Juwaini . (Lihat al-Ghuluw hlm 60.)
Dari itu semua, jika pengikut madzhab Asy'ariyyah di anggap sebagai orang sesat, maka berapa ribu ulama Asy'ariyyah dan berapa juta muslimin yang menjadi korban penyesatan dan pengkufuran ? Lalu kenapa, mereka selalu mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, ar-Razi, Ibnu Hibban dan lain-lain, yang padahal mereka semua dianggp sesat ?
Catatan : Adapun cerita yang menyebutkan bahwa Imam Haramain merujuk kembali pendapatnya tentang ilmu kalam sebagaimana di tulis oleh Khalid Abdurrahman Ekk dan ulama-ulama lain (madzhab Wahhabi) dalam catatan kitabnya, Dalail at-Tauhid karya Jamaluddin al-Qasimi, adalah palsu dan bohong sebagaimana di jelaskan oleh Ibnu as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi'iyyah biografi Imam Haramain. Begitu juga dengan Imam al-Ghazali.